ritual di punan dulau

Punan Dulau. Sebelum tahun 1972 masyarakat adat Punan Tugung masih bermukim di perkampungan lama (Kampung Dulau) di dalam kawasan adat Punan Tugung dengan sistem pemerintah kampung yang dikepalai oleh seorang pembakal. Namun akibat kebijakan pemerintah sejak awal tahun 1965, yang gencar untuk melakukan pemukiman bagi komunitas yang dianggap terpencil, maka masyarakat  Punan Tugung kemudian dipaksa untuk bermukim di sekitar sungai Tengkerango, persisnya di sekitar wilayah Desa Sekatak Buji saat ini.

Sejak saat itulah, warga Punan Tugung menumpang  (enclave) di dalam wilayah kampung lain. Ketika kampung Sekatak Buji berubah menjadi desa, keberadaan Kampung Punan Tugung yang menumpang di dalam Desa Sekatak Buji juga diakui sebagai satu wilayah desa: Desa Punan Dulau. Nama Dulau tetap mereka pakai  untuk mengenang daerah asal usul mereka.

Wilayah Desa Punan Dulau yang enclave di dalam wilayah desa Sekatak Buji tersebut hanya seluas 1,8 Ha saja. Pengakuan hibah lahan seluas 1,8 ha tersebut baru benar-benar terealisasi pada tahun 2021.

Sejak proses pemindahan pada tahun 1972 itu Kehidupan warga Punan Dulau berubah drastis, sebab hasil-hasil alam berupa kebun tidak tersedia di lokasi yang baru. Untuk berladang mereka terpaksa bolah balik sejauh 80 km menghulu sungai ke wilayah kampung asal atau beralih mata pencaharian yang sama sekali baru mereka lakukan.  Karena itu, praktis sejak kepindahan itu telah terjadi penurunan kualitas kehidupan warga Punan Dulau.

Celakanya, tidak lama setelah proses pemindahan tersebut, wilayah kampung asal mereka telah menjadi wilayah konsesi perusahaan kayu, yang masuk sejak awal tahun 1980-an dan masih berlanjut sampai saat ini. Sejak itulah, perjuangan warga Punan Dulau tidak pernah berhenti dan surut untuk berusaha mengambil kembali hak asal usul atas tanah, wilayah, hutan dan lokasi asal mereka.

Perjuangan itu, setidaknya telah mendapat hasil, terutama sejak di rekognisinya sebagian dari draft peta usulan wilayah kampung asal mereka ke dalam peta administrasi desa yang baru, terutama pasca terbentuknya provinsi Kalimantan Utara. 

Peta wilayah Desa Punan Dulau yang merujuk pada wilayah asal  itu secara jelas dan tegas telah tercantum di dalam Perda Tata Ruang (Perda RTRW)  Provinsi dan Kabupaten Bulungan. Karena itu,  di dalam peta tata ruang Kabupaten bulungan saat ini, terdapat dua toponim Desa Punan Dulau. toponim pertama merujuk pada wilayah enclave di Desa Sekatak Buji. Toponim kedua merujuk pada wilayah Desa Punan Dulau di kampung asal. Jarak antara wilayah enclave dengan wilayah definitif itu sekitar 50 km.

Pasca pemindahan kampung tahun 1972 itu, beberapa warga pernah mencoba Kembali untuk pulang ke kampung asal, dengan diam-diam dan dengan alasan untuk berladang, tapi tidak dalam jangka lama. Pemukiman semi permanen dan mulai agak terang-terangan di wilayah kampung asala itu setidaknya terjadi pasca reformasi. Puncaknya tahun sekitar tahun 2010-an mulai terbentuk satuan pemukiman, terutama di sekitar kampung ikong saat ini yang juga merupakan lokasi perladangan.

Saat ini, di kampung ikong telah berdiri sekitar 20 rumah yang telah dihuni Kembali oleh warga punan dulau dan telah terbangun 1 balai adat serta tersedia fasilitas air bersih bagi warga. Percepatan pembangunan Kembali kampung asal itu, setidaknya telah menjadi bagian penting oleh pemerintah desa Punan Dulau saat ini.

Hutan Adat

Peta kampung asal Punan Dulau seperti yang terlihat dalam peta administrasi Desa Punan Dulau pada dasarnya merupakan hasil rekognisi wilayah adat Punan Tugung pada masa lalu. Peta wilayah asal Desa Punan Dulau-yang telah di rekognisi pada peta tata ruang Kab Bulungan-, pada dasarnya juga mengikuti peta spasial wilayah adat Punan Tugung yang telah pernah disepakati bersama dengan suku-suku sekitar.

Luas wilayah administratif Desa Punan dulau yang berada di wilayah kampung asal itu seluas +- 21.000 ha dan hampir seluruhnya masih masuk dalam areal konsesi salah satu perusahaan kayu. Karena itulah, meski wilayah administrasi desa telah ditetapkan namun penguasan terhadap kawasan hutan dan tanah-tanah adat masih harus Kembali diperjuangkan.

Kendala terbesar belum dikembalikannya penguasaan hutan dan tanah adat kepada masyarakat adat Punan Tugung itu karena proses pengakuan keberadaan masyarakat adat Punan Tugung sebagai Masyarakat Hukum Adat masih terkendala proses administrasi yang cukup berbelit. Padahal syarat utama untuk mendapatkan kembali  atas hak wilayah dan hak pengelolaan atas hutan tersebut sebagai Hutan Adat, mutlak membutuhkan pengakuan keberadaan masyarakat adat itu sebagai Masyarakat Hukum Adat.

Bagi masyarakat adat Punan Tugung Desa Punan Dulau, tidak banyak hutan primer yang masih tersisa dan relative belum terganggu oleh aktivitas perusahan. Lokasi yang berpotensi untuk dijadikan sebagai Kawasan Hutan Adat hanya tersisa di bagian hulu Sungai Magong, yang juga merupakan salah satu Kawasan sakral bagi  masyarakat Punan Tugung. Lokasi itulah yang saat ini sedang diupayakan untuk dijadikan sebagai Kawasan hutan adat.

Tentu saja tidak mudah, dukungan para pihak terutama instansi terkait menjadi sangat penting agar rencana penetapan kawasan hutan yang tersisa itu segera menjadi hutan adat. Terkait dengan Upaya tersebut, Pemerintah Desa Punan Dulau, Lembaga Adat Punan Tugung, AMAN Kab Bulungan, Padi Indonesia, HuMA dan JKPP bekerja Bersama-sama untuk mengajukan proses pengakuan  keberadaan MHA Punan Tugung, wilayah adat dan hutan adatnya kepada Pemerintah Kabupaten Bulungan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Dukungan serupa telah pula diupayakan melalui KOMNAS HAM yang telah meninjau langsung kondisi dan keberadaan MHA Punan Tugung Desa Punan Dulau.

Semoga perjuangan dan kerjasama ini dapat menghalau galau yang sekian lama menyelimuti Punan Dulau.

(anto)

Leave A Comment

Please enter your name. Please enter an valid email address. Please enter message.